Sistem Informasi Untuk Bencana Tanah Longsor
PERANAN SISTEM INFORMASI
GEOGRAFIS
DALAM MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR
Indonesia
sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa,
di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Hindia,
berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah
teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam. Disamping itu kekayaan alam
yang berlimpah, jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata,
pengaturan tata ruang yang belum tertib, masalah penyimpangan pemanfaatan
kekayaan alam, keaneka ragaman suku, agama, adat, budaya, golongan pengaruh
globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat komplek mengakibatkan
wilayah Negara Indonesia menjadi wilayah yang memiliki potensi rawan bencana,
baik bencana alam maupun ulah manusia, antara lain; gempa bumi, tsunami,
banjir, letusan gunung api, tanah Iongsor, angin ribut, kebakaran hutan dan
lahan serta letusan gunung api. Secara umum terdapat peristiwa bencana yang
terjadi berulang setiap tahun. Bahkan saat ini peristiwa bencana menjadi lebih
sering terjadi dan silih berganti, misalnya dari kekeringan kemudian kebakaran,
lalu diikuti banjir dan longsor (Mendagri, 2006).
Berbasis
analisis geografis dapat dipahami bahwa dibalik potensi alam di Indonesia yang
kaya dan subur, tersimpan pula risiko bencana alam dan konflik sosial.
Pengelolaan sumber daya alam selalu terkait dengan perubahan ekosistem dan
dampak negatifnya pada sosial, ekonomi, keamanan, dan kesehatan. Dengan
demikian, konsep pengelolaan sumber daya harus berwawasan lingkungan serta
berbasis kearifan lokal agar kerusakan lingkungan dan bencana dapat terkendali.
MITIGASI BENCANA
Semua
pihak berusaha semaksimal mungkin apabila memang terjadi bencana alam lagi
diharapkan jumlah kerugian, baik material maupun non-material, sekecil mungkin
atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal itulah yang disebut dengan istilah
mitigasi, yaitu upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari resiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
Berdasarkan
siklus waktunya, penanganan bencana terdiri atas 4 tahapan yaitu:
·
Mitigasi merupakan tahap awal
penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.
Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara
lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa,
penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan gempa.
·
Kesiapsiagaan merupakan perencanaan
terhadap cara merespons kejadian bencana. Perencanaan dibuat berdasarkan bencana
yang pernah terjadi dan bencana lain yang mungkin akan terjadi.
Respons merupakan
upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan bencana. Tahap ini berlangsung
sesaat setelah terjadi bencana. Rencana penanggulangan bencana ·
dilaksanakan dengan fokus pada upaya
pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat
bencana.
·
Pemulihan merupakan upaya mengembalikan
kondisi masyarakat seperti semula.
Ada empat hal penting
dalam mitigasi bencana, yaitu :
- Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana.
- Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana.
- Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan
- Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.
PERAN
SIG DALAM MITIGASI BENCANA
Mitigasi
bencana terlihat bahwa kebutuhan untuk memperoleh informasi dan peta kawasan
rawan bencana untuk tiap jenis bencana sangatlah besar. Yang menjadi tantangan
terbesar adalah bagaimana mendapatkan informasi atau peta tersebut secepat
mungkin, lalu diinformasikan ke masyarakat untuk melakukan evakuasi dan
tindakan penyelamatan lainnya. Pada keadaan demikian maka kehadiran teknologi
berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) sangatlah berarti dan berperan.
Sistem
Informasi Geografi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengelola dan menganalisis data spasial (Aronoff, 1989). Saat ini SIG bukan
saja digunakan untuk mengolah data fisik spasial, tetapi juga data sosial
ekomoni bereferensi geografis (Martin, 1996). Dalam hubungannya dengan penentuan
kawasan rawan bencana, SIG dapat digunakan untuk menentukan daerah atau lokasi
dimana rawan bencana kemungkinan terjadi. Dalam hal ini digunakan analisis
query spatial dan analisis tumpangsusun peta melalui sistem pembobotan (Demers,
1997; Borrough, 1988). Dilihat dari definisinya, SIG adalah suatu sistem yang
terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
Manfaat
utama penggunaan SIG dengan komputer dibandingkan dengan metode pembuatan peta
tradisional dan masukan data manual atau informasi manual, adalah memperkecil
kesalahan manusia, kemampuan mamanggil kembali peta tumpangsusun dari simpanan
data SIG secara cepat, dan menggabungkan tumpangsusun tersebut. Teknologi yang
digunakan dalam SIG memperluas penggunaan peta, model-model kartografik dan
statistik spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia
untuk pengembangan model medan komplek dan pengujian masalah bentang lahan
serta masalah penggunaan lahan.
Komponen utama SIG terdiri atas:
- Hardware, yang terdiri dari komputer, GPS, printer, plotter, dan lain-lain. Dimana perangkat keras ini berfungsi sebagai media dalam pengolahan/pengerjaan SIG, mulai dari tahap pengambilan data hingga ke produk akhir baik itu peta cetak, CD, dan lain-lain.
- Software, merupakan sekumpulan program aplikasi yang dapat memudahkan kita dalam melakukan berbagai macam pengolahan data, penyimpanan, editing, hingga layout, ataupun analisis keruangan.
- Brainware, dalam istilah Indonesia disebut sebagai sumberdaya manusia merupakan manusia yang mengoperasikan hardware dan software untuk mengolah berbagai macam data keruangan (data spasial) untuk suatu tujuan tertentu.
- Data Spasial, merupakan data dan informasi keruangan yang menjadi bahan dasar dalam SIG. Data ataupun realitas di dunia/alam akan diolah menjadi suatu informasi yang terangkum dalam suatu sistem berbasis keruangan dengan tujuan-tujuan tertentu.
Subsistem dalam SIG
yaitu meliputi 1. pengumpulan dan pemasukan data; 2. Manajemen data atau
pembentukan data dasar; 3. analisis; dan 4. penerapan dan keluaran (Short,
1992).
·
Pemasukan Data Pemasukan data ke dalam SIG dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu : scanning (pelarikan atau penyiaman); digitasi; dan
tabulasi.
- Scanning (pelarikan atau penyiaman), yaitu proses pengubahan data grafis kontinu menjadi data grafis diskret yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar (pixel).
- Digitasi, yaitu proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam format vektor, menggunakan digitizer.
- Tabulasi, yaitu sebagai informasi dari peta atau kawasan yang dimasukkan
- Manajemen Data Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan data.
- Manipulasi Dan Analisis Data Salah satu kemampuan utama SIG adalah dalam manipulasi dan analisis data (spasial) untuk memperoleh informasi baru
o
Keluaran utama dari suatu kegiatan SIG
adalah informasi spasial baru. Informasi ini perlu untuk disajikan dalam bentuk
tercetak (hard copy) supaya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional.
SIG
dapat digunakan dalam penentuan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk
penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk
menentukan besarnya jaminan keselamatan terhadap masyarakat dan bangunan sipil,
untuk mengidentifikasi sumber bencana, pelatihan dan kemampuan yang dimiliki
secara spesifik terhadap bahaya yang dijumpai dan untuk mengidentifikasi area
yang terkena banjir serta relokasi korban ke tempat yang aman. Daerah yang
paling rentan terhadap bencana menjadi prioritas utama dalam melakukan tindakan
mitigasi. Semua langkah-langkah yang diambil bertujuan untuk menghindari
bencana ketika diterapkan, langkah yang berikutnya adalah untuk bersiap-siap
menghadapi situasi jika bencana menyerang. SIG untuk kesiapsiagaan bencana
adalah efektif sebagai sarana untuk menentukan lokasi sebagai tempat
perlindungan di luar zone bencana, mengidentifikasi rute pengungsian alternatif
yang mendasarkan pada skenario bencana yang berbeda, rute terbaik ke rumah
sakit di luar zona bencana itu, spesialisasi dan kapasitas rumah sakit dan lain
lain. SIG dapat memberikan suatu perkiraan jumlah makanan, air, obat,
kedokteran dan lain lain misalnya untuk penyimpanan barang atau logistik
Analisis SIG dalam Penentuan Lokasi
Rawan Longsor
Longsor
merupakan perpindahan massa tanah secara alami sehingga termasuk dalam kategori
erosi. Perbedaan dengan jenis erosi lainnya adalah bahwa longsor terjadi dalam
waktu singkat dan dalam volume yang besar.
Untuk
menyusun Peta Lokasi Rawan Longsor idealnya mendasarkan pada survei lapangan
atau survei terestris yang dilakukan pada semua lokasi rawan longsor. Namun
demikian cara tersebut sangat tidak efektif, tidak efisien, memerlukan waktu
yang lama, memerlukan tenaga survei yang banyak dan memerlukan biaya yang
besar. Sebagai gantinya maka dibuatlah suatu model lokasi rawan longsor. Model
merupakan penyederhanaan dari realita. Model penentuan lokasi rawan longsor
berarti mencoba melibatkan semua parameter penyebab terjadinya rawan longsor
didalam analisis sedemikian rupa sehingga diperoleh lokasi rawan longsor. Di Indonesia ada beberapa model dalam
penentuan lokasi rawan longsor yang sudah dikembangkan, diantaranya yang
dikembangkan oleh Kementerian Pertanian, oleh Kementerian Pekerjaan Umum, oleh
Kementerian Kehutanan, oleh UGM dan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi.
Dalam
contoh analisis lokasi rawan longsor di bawah ini digunakan model yang
dikembangkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter
yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah.
Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang
mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot
yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah
longsor. Kelima peta tersebut ditumpangsusunkan (overlay) dan dilakukan
penghitungan skor kumulatif, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan
longsor.
Setelah
semua data spasial dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk peta digital,
kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada setiap parameter.
Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah
penutupan lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah hujan dan geologi
(batuan induk). Derajat dan panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi
terjadinya longsor. Semakin tinggi derajat
lereng maka akan memberikan bahaya rawan longsor yang lebih tinggi,
sehingga diberi nilai bobot yang paling tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Aronoff, Stanley. 1989.
Geographic Information Systems, A Management Perspective. Ottawa Canada.
Burrough, P.A. 1988.
Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment.
Oxford University Press, New York.
Demers, Michael N.
1997. Fundamental of Geographic Information Systems. John Wiley & Sons,
Inc.
Martin, David. 1996.
Geographic Information Systems, Sosioeconomic Applications. Routledge, London
and New York.
Mendagri, 2006,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum
Mitigasi Bencana
Short, N.M., 1982.
The Landsat Tutorial Workbook, NASA, Washington, DC
Komentar
Posting Komentar